Selasa, 22 Februari 2011 | 10:49 WIB
WAINGAPU, Pos-Kupang.Com--Tradisi masyarakat Sumba Timur yang mengorbankan ternak dalam jumlah besar pada acara adat, seperti saat ada kematian dan perkawinan, dinilai sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan di daerah itu.
Tanpa mengurangi nilai dari budaya yang ada, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar dalam setiap acara adat harus dikurangi atau diatur oleh pemerintah daerah.
Wacana ini muncul dalam Rapat Kerja (raker) Pamong Praja Kabupaten Sumba Timur yang berakhir, Sabtu (19/2/2011).
Penilaian tentang budaya sebagai salah satu fakor pemiskinan masyarakat di Kabupaten Sumba Timur pertama kali diangkat Camat Haharu, Marius Kura Maki, S.Sos pada hari pertama rapat kerja Pamong Praja Kabupaten Sumba Timur, Selasa (15/2/2011) lalu.
Marius meminta agar tradisi penyembelihan hewan pada saat upacara adat seperti kematian atau perkawinan harus diatur oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah termasuk sanksi kepada yang melanggar.
Wacana itu mendapat respon positif dari para peserta raker pamong praja yang terdiri dari para pejabat daerah, kepala desa, dan tokoh mayarakat.
Seorang peserta raker pamong praja dari Desa Lambakara, Kecamatan Pahunga Lodu, mengatakan, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar pada upacara penguburan sangat menyengsarakan dan memiskinkan rakyat karena membebani rakyat.
Karena itu, dia meminta agar pemerintah daerah mengatur kembali mekanisme termasuk jumlah hewan yang dipotong dalam setiap upacara penguburan.
Ia juga minta agar Pemda Sumba Timur segera membuat aturan tentang penertiban ternak karena masih banyak ternak di Sumba Timur yang berkeliaran dan merusak tanaman pertanian masyarakat.
Menurutnya, peraturan desa saja tidak efektif karena sebagian besar ternak yang berkeliaran milik orang besar (pejabat atau bangsawan,red.).
Masalah ketidaktertiban ternak ini juga sebenarnya terjadi di Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur dimana kambing berkeliaran di jalan-jalan protokol, di halaman kantor pemerintahan sudah menjadi pemandangan biasa di daerah ini meskipun masyarakat berkali-kali menyampaikan keluhan ini.
Dalam rekomendasi akhir Raker Pamong Praja Kabupaten Sumba Timur, disebutkan bahwa pelaksanaan budaya Sumba pada saat urusan kematian akan menjadi pencermatan pemerintah ke depan dengan tetap melestarikan budaya tanpa membebani masyarakat sebagai pelaku budaya. (dea)
Tanpa mengurangi nilai dari budaya yang ada, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar dalam setiap acara adat harus dikurangi atau diatur oleh pemerintah daerah.
Wacana ini muncul dalam Rapat Kerja (raker) Pamong Praja Kabupaten Sumba Timur yang berakhir, Sabtu (19/2/2011).
Penilaian tentang budaya sebagai salah satu fakor pemiskinan masyarakat di Kabupaten Sumba Timur pertama kali diangkat Camat Haharu, Marius Kura Maki, S.Sos pada hari pertama rapat kerja Pamong Praja Kabupaten Sumba Timur, Selasa (15/2/2011) lalu.
Marius meminta agar tradisi penyembelihan hewan pada saat upacara adat seperti kematian atau perkawinan harus diatur oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah termasuk sanksi kepada yang melanggar.
Wacana itu mendapat respon positif dari para peserta raker pamong praja yang terdiri dari para pejabat daerah, kepala desa, dan tokoh mayarakat.
Seorang peserta raker pamong praja dari Desa Lambakara, Kecamatan Pahunga Lodu, mengatakan, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar pada upacara penguburan sangat menyengsarakan dan memiskinkan rakyat karena membebani rakyat.
Karena itu, dia meminta agar pemerintah daerah mengatur kembali mekanisme termasuk jumlah hewan yang dipotong dalam setiap upacara penguburan.
Ia juga minta agar Pemda Sumba Timur segera membuat aturan tentang penertiban ternak karena masih banyak ternak di Sumba Timur yang berkeliaran dan merusak tanaman pertanian masyarakat.
Menurutnya, peraturan desa saja tidak efektif karena sebagian besar ternak yang berkeliaran milik orang besar (pejabat atau bangsawan,red.).
Masalah ketidaktertiban ternak ini juga sebenarnya terjadi di Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur dimana kambing berkeliaran di jalan-jalan protokol, di halaman kantor pemerintahan sudah menjadi pemandangan biasa di daerah ini meskipun masyarakat berkali-kali menyampaikan keluhan ini.
Dalam rekomendasi akhir Raker Pamong Praja Kabupaten Sumba Timur, disebutkan bahwa pelaksanaan budaya Sumba pada saat urusan kematian akan menjadi pencermatan pemerintah ke depan dengan tetap melestarikan budaya tanpa membebani masyarakat sebagai pelaku budaya. (dea)
>>>>>>>>> waikamura sumba blog <<<<<<<<_
good,.good,..
BalasHapusthankz buat infonya,...
emangnya budaya disana seperti apa ya..???
BalasHapus